Banyak Wide

Banyak Wide dalam Memori Hari Baik dan Hari Buruk Masyarakat Jawa

Masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa, sejak dahulu kala menggunakan perhitungan hari baik dan hari buruk dalam menentukan berbagai urusan penting. Mulai dari perjalanan jauh, pindah rumah, pernikahan, hingga membangun rumah, semuanya dipertimbangkan berdasarkan waktu yang dianggap membawa keberuntungan atau sebaliknya.

Ilmu titen menjadi istilah yang tepat untuk menggambarkan cara masyarakat Jawa membaca tanda-tanda waktu dan alam untuk menentukan langkah hidup. Kebiasaan membedakan hari baik dan hari buruk ini tidak muncul begitu saja, melainkan lahir dari ingatan kolektif atas berbagai peristiwa besar yang diyakini meninggalkan jejak waktu—jejak yang diwariskan turun-temurun sebagai peringatan.

Salah satu contohnya adalah kepercayaan yang berkembang di lingkungan Keraton Yogyakarta, yang menganggap hari pasaran Pahing sebagai hari yang bisa membawa kesialan. Keyakinan ini berakar pada peristiwa tragis yang telah terjadi berabad-abad silam.

Dikisahkan bahwa Patih pertama Keraton Yogyakarta, Tumenggung Yudonegoro, berasal dari keturunan Bupati Banyumas. Ia kemudian menikahi salah satu putri dari Amangkurat I yang bernama Raden Ayu Kleting Kuning. Dari pernikahan inilah, keluarga Adipati Banyumas mewarisi kekuasaan di wilayah Mancanegara Barat secara turun-temurun.

Suatu ketika, leluhur dari salah satu penguasa Kadipaten tersebut dibunuh pada hari Pahing. Kejadian itu terjadi saat ia sedang duduk di meja makan dan tengah menyantap daging angsa. Dalam versi lain, disebutkan bahwa ia dihukum oleh pihak Keraton Kartasura dan dieksekusi di dalam masjid karena suatu pelanggaran berat.

Peristiwa tragis tersebut menjadi penanda waktu yang kelam dalam sejarah keluarga. Sejak itu, hari Pahing dipercaya sebagai hari sial oleh keluarga besar Kesultanan Yogyakarta. Bahkan, hingga kini, tidak satu pun anggota keluarga tersebut diperbolehkan memakan daging angsa pada hari Pahing—sebagai bentuk penghormatan sekaligus pengingat.

Orang yang terbunuh pada hari Pahing itu kemudian dikenal dengan julukan Banyak Wide. Dalam bahasa Jawa, banyak berarti angsa, sedangkan wide berasal dari kata widya, yang berarti ilmu pengetahuan. Julukan ini bukan hanya menandai identitas seseorang, melainkan menjadi simbol peringatan tentang bagaimana waktu dan peristiwa dapat menyatu dalam ingatan budaya.

(Bersambung)
Muklisina Lahudin