Artikel

Studi Sejarah dan Hukum: Desa Merdeka, Perdikan, dan Sistem Kepemilikan Tanah di Jawa dan India

 

Pada masa kolonial di Jawa dan Madura (kecuali di Vorstenlanden), terdapat sekitar 244 desa yang memiliki status hukum khusus dan menikmati hak-hak istimewa tertentu. Desa-desa ini dikenal dengan sebutan “desa bebas” atau “vrije desa’s”. Mereka umumnya bebas dari kewajiban membayar pajak dan melakukan kerja paksa (heerendiensten) untuk pemerintah kolonial.

Sebagian besar kepala desa di desa bebas ini diangkat oleh Gubernur Jenderal, dengan memperhatikan prinsip suksesi turun-temurun. Meskipun secara resmi dikenal sebagai perdikan desa, sebutan ini sebenarnya merujuk pada jenis desa tertentu yang secara tegas dibedakan dari jenis desa bebas lainnya.

Jenis desa bebas ini memiliki beberapa nama berbeda tergantung pada karakteristiknya:

    • Desa Perdikan: Biasanya diberikan kepada desa yang memiliki peran spiritual atau agama.
    • Desa Mijen: Desa yang memiliki peran administratif atau khusus, dan hasilnya diserahkan kepada individu atau keluarga tertentu.
    • Desa Pakuncen: Desa yang ditugasi menjaga tempat ibadah atau makam suci.
    • Desa Mutihan: Desa yang terhubung dengan lembaga keagamaan, seperti pesantren, dan bisa termasuk dalam kategori perdikan atau pakuncen.

Desa Perdikan

Desa Perdikan adalah desa yang tanahnya dianugerahkan oleh raja kepada individu atau kelompok tertentu, biasanya karena peran keagamaan mereka. Tanah ini umumnya diberikan dengan syarat, seperti memelihara sekolah agama atau menjaga makam keramat. Sebagai imbalan, desa perdikan dibebaskan dari pajak dan kerja rodi. Status ini bersifat lebih tetap, dan sering kali diwariskan kepada keturunan penerima.

Dalam konteks ini, istilah Maharddhika dalam bahasa Jawa Kuno berarti “orang suci” atau “pandita”, dan berasal dari kata Sanskerta Maharddhimat yang berarti “bijaksana” atau “berkekuatan magis”. Kata ini kemudian berubah menjadi mardika dan perdikan, yang mencerminkan status bebas atau merdeka.

Desa Mijen

Desa Mijen desa tidak menerima anugerah tanah seperti perdikan, melainkan pendapatannya diserahkan kepada pihak tertentu (biasanya pangeran atau orang kepercayaan raja). Mereka berhak memanfaatkan tenaga kerja dan pajak dari desa tersebut untuk kepentingan pribadi. Namun, hak ini bersifat sementara dan biasanya berakhir ketika penerima manfaat meninggal, kecuali diperpanjang untuk keturunannya.

Secara etimologis, “mijen” mungkin berasal dari bentuk aktif kata “wiji” (biji/inti), yang berarti “berdiri sendiri” atau “dinikmati oleh satu orang”. Hal ini menunjukkan sifat kepemilikan atau kontrol eksklusif atas hasil desa oleh satu individu.

Desa Pakuncen 

Desa Pakuncen desa dibebaskan dari pajak dan kerja rodi dengan syarat merawat situs keagamaan, seperti masjid, pesantren, atau makam wali dan raja. Tanah mungkin dialokasikan untuk lembaga tersebut, dan dikelola bukan sebagai hak milik pribadi, melainkan untuk mendukung fungsi keagamaan. Status istimewa ini diberikan sebagai imbalan atas pengabdian spiritual, tanpa pemberian tanah seperti pada perdikan.

Istilah “pakuncen” berasal dari kata “kunci” (koentji), yang menunjuk pada fungsi penjaga kunci situs suci. Di Solo, istilah ini dikenal sebagai djuru koentji. Meski tidak tercatat dalam Kamus Jawa Roorda, istilah ini juga muncul dalam budaya Sunda, sebagaimana tercatat dalam Kamus Sunda-Belanda karya Coolsma.

Desa Mutihan 

Desa Mutihan  adalah desa bebas yang berafiliasi dengan lembaga keagamaan seperti pesantren. Ia tidak membentuk kategori hukum terpisah, tetapi mencerminkan peran fungsional desa dalam mendukung institusi spiritual. Karena itu, desa mutihan bisa berupa perdikan maupun pakuncen, selama keterkaitannya dengan lembaga keagamaan terjaga.

Pandangan Islam dan Perbandingan dengan Waqf

Sebagian penulis, seperti Prof. Veth, menganggap desa-desa merdeka sebagai bentuk waqf dalam Islam. Namun, kritik utama terhadap pandangan ini adalah bahwa tanah-tanah tersebut tidak diberikan oleh pemilik pribadi (sebagaimana dalam waqf), tetapi oleh raja. Dalam hukum Islam, raja bukan pemilik mutlak tanah dan tidak dapat memperlakukannya sesuka hati. Islam sangat menghormati hak milik dan penggunaan tanah oleh masyarakat secara turun-temurun.

Mr. L.W.C. van den Berg dalam Mohammedaansche Geestelijkheid op Java dan Beginselen van het Mohammedaansch Recht menyuarakan keberatan yang sama. Ia menduga bahwa praktik pemberian desa ini adalah warisan dari masa Hindu, bukan berasal dari ajaran Islam. Raja-raja Hindu seperti dari Majapahit dan Pajajaran telah lama memiliki kebiasaan mendedikasikan tanah bagi candi dan biara. Dalam hukum Islam, waqf harus berasal dari kehendak bebas pemilik sah, bukan dari otoritas tertinggi.

Akar Tradisi Hindu dan Hukum India

Dalam Elements of South Indian Palaeography, Burnell mencatat bahwa menurut Nîtimayûkha (abad ke-16), pemberian kerajaan adalah kewajiban raja terhadap Brahmana, dilakukan pada saat-saat suci seperti fase bulan dan gerhana. Pemberian ini bersifat legal dan harus memuat:

    • Silsilah pemberi (genealogi).
    • Deskripsi lengkap tentang bentuk dan syarat pemberian.
    • Kutukan terhadap pelanggar.
    • Pengesahan oleh saksi, jika tidak ditulis tangan langsung oleh raja.

Bagian terpenting dari dokumen adalah deskripsi pemberian dan syarat-syaratnya, karena inilah sumber informasi tentang kepemilikan tanah dan administrasi lokal. Perbedaan gaya dan isi sering kali menjadi petunjuk asal wilayah dokumen atau indikasi pemalsuan.

Setelah penaklukan Muslim di India Selatan, banyak istilah lokal digantikan oleh istilah asing. Misalnya, istilah Tamil kuno Kâniyâtsî tergantikan oleh mîrâsi (dari Arab-Persia mîrâs = warisan). Perubahan ini terjadi sekitar tahun 1600 dan menunjukkan pergeseran struktur agraria.

Kritik terhadap Legitimasi Pemberian

Banyak pemberian di wilayah seperti Madras, Arcot, dan Cuddapah yang mengklaim berasal dari abad ke-12 atau ke-13 diragukan keasliannya, bahkan jika gaya tulisannya otentik. Hukum India menegaskan bahwa raja hanya dapat memberikan apa yang memang menjadi haknya. Pengambilan kembali pemberian adalah pelanggaran yang umum dan disebut sebagai “dosa” dalam banyak prasasti. Dalam hukum Sanskerta, hak raja dibatasi pada seperenam hasil tanah—ini adalah batas maksimum pemberian.

Karena desa telah menjadi unit administratif utama sejak zaman paling awal di seluruh India, pemberian atas desa memiliki dampak langsung terhadap struktur sosial dan hak rakyat. Kesadaran terhadap batas kekuasaan raja dan pentingnya keabsahan hukum telah hadir dalam sistem tradisional jauh sebelum kolonialisme atau Islamisasi.

Sebagaimana dicatat oleh Mr. van den Berg, dugaan awal tentang akar Hindu dari sistem desa merdeka saya temui kembali ketika berada di pedalaman. Namun, saya belum memiliki akses sumber yang memadai untuk memastikan hal tersebut. Pada bulan Mei, di Batavia, dengan bantuan pustakawan Dr. Brandes di Bataviaasch Genootschap, saya akhirnya menemukan bukti yang menguatkan kecurigaan tersebut. Inilah yang mengubah keraguan menjadi keyakinan, dan memperlihatkan bahwa sistem desa bebas di Jawa bukan sekadar fenomena Islam atau kolonial, melainkan bagian dari tradisi panjang yang diwarisi dari masa Hindu-Buddha dan diadaptasi ke dalam kerangka baru sepanjang sejarah.